
Sebagai moderator sekaligus narasumber dalam diskusi kelas tingkat S2, penulis berada di posisi dilematis. Dari satu sisi, penulis harus menunjukkan objektifitas dan kejujuran, namun di sisi lain penulis tidak dapat melepaskan diri dari keterikatan emosional kebangsaan yang sering terusik apabila diskusi mengarah kepada pencemoohan atau penghujatan terhadap sekelompok bangsa Indonesia. Penulis harus mengakui bahwa tidak sedikit pertanyaan mereka yang sulit dijawab, tapi banyak pula yang harus tanggapi secara serius.
Pada dasarnya para mahasiswa bersimpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia untuk melakukan reformasi total. Mereka menyadari bahwa dalam suatu proses perjuangan, pengorbanan merupakan syarat mutlak bagi tercapainya tujuan. Layaknya suatu diskusi, pro dan kontra, pandangan ekstrim dan moderat, dan ungkapan radikal dan akomodatif, mewarnai diskusi tentang sosok Soeharto dan BJ Habibie.
Unsur positif tentang kearifan Soeharto dengan mengundurkan diri tanpa membiarkan terjadinya pertumpahan darah banyak dilontarkan di kelas. Hal ini diperkuat dengan membandingkan pengunduran diri beberapa presiden dunia dengan didahului pertumpahan darah dan kontak senjata. Contoh terakhir adalah Mobutu yang juga berkuasa cukup lama.
Unsur negatifnya tidak sedikit yang dilontarkan, antara lain adalah usahanya untuk berkuasa begitu lama walaupun rakyatnya sudah enggan untuk menerimanya; membiarkan sekelilingnya memperkaya diri secara mencolok yang mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi dahsyat.
Segi positif BJ Habibie adalah usahanya yang cepat menangkap aspirasi masyarakat dengan membebaskan tahanan politik, berjanji untuk mengadakan Pemilu, dan membersihkan pemerintahnya dari bakteri KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di samping melakukan pendekatan serta mendengar masukan tokoh masyarakat dan agama untuk bersama-sama mengantar bangsa ke era reformasi. BJ Habibie pun memberi contoh dalam membersihkan dirinya dari bakteri tersebut.
Masih segi positif Habibie, adalah ia mengajak bangsa Indonesia mengingat jasa-jasa Soeharto dan tidak hanya terpaku pada kekeliruan-kekeliruannya. Namun tidak sedikit yang meragukan kemampuan BJ Habibie untuk memimpin bangsa Indonesia, mengulangi beberapa pendapat yang ditulis pengamat Amerika.
Memang demikian halnya apabila wapres menggantikan presiden. Ia selalu dibayangi oleh kharisma bekas presiden, kata seorang mahasiswa. Contohnya, wapres Anwar Sadat ketika menggantikan Gamal Abdul Naser, bangsa Mesir dan dunia luar meragukan kemampuannya. Namun ia ternyata berprestasi lebih gemilang daripada Naser dengan memenangkan perang 1973 melawan Israel. Untuk itu, lanjut mahasiswa tadi, BJ Habibie pun harus diberi waktu untuk menunjukkan prestasinya. Bahkan Tuhan Yang Maha Kuasa sekalipun membutuhkan enam hari untuk menciptakan alam semesta ini, lanjutnya.
Segi negatif BJ Habibie menurut sementara mahasiswa, antara lain bahwa dalam menyusun kabinetnya ia masih menunjuk menteri-menteri yang berbau KKN, yang mengundang protes masyarakat. Bahkan seorang mahasiswa secara lantang bersuara: ''Bukankah BJ Habibie bersama beberapa menteri itu ikut bertanggung jawab atas kebijaksanaan Soeharto selama ini?'' Nada akomodatif dan moderat lalu menyambung bahwa pada masa Soeharto, mereka yang menentang kebijakannya pasti akan dicopot. Hanya yang mengiyakan saja yang akan langgeng pada posisinya. Contoh soal, Mar'ie dan Soedradjad Djiwandono.
Perlu digarisbawahi bahwa pada umumnya mahasiswa merasa khawatir akan masa depan Indonesia yang mereka anggap akan menampakkan corak ''Fundamentalisme Islam'', apabila pengaruh BJ Habibie dan tokoh-tokoh reformasi semacam Amien Rais dan Nurcholish Madjid melaju tanpa dibendung. Bukankah BJ Habibie pernah menjadi ketua Umum ICMI -- yang dikenal secara luas sebagai muslim yang menjalankan ritual agama secara konsisten? Atau Amien Rais adalah pencipta kader-kader muslim yang mendalami gerakan puritan Ichwanul Muslimin? Atau bukankah Nurcholish Madjid pendidik umat dengan pandangan-pandangan jernihnya? Tidakkah ketiga tokoh ini seirama untuk memperjuangkan agar Indonesia lebih bercorak Islam?
Kekhawatiran ini disebabkan karena mahasiswa Amerika masih sulit melepaskan diri dari persepsi keliru terhadap Islam -- yang selama ini terbentuk dalam benaknya. Islam diidentikkan dengan kekerasan dan intoleransi. Hal yang menambah kukuhnya persepsi keliru ini karena ia terkadang diperkuat oleh segelintir bangsa kita sendiri, baik muslim atau nonmuslim, yang kurang mendalami esensi Islam.
Menanggapi kekhawatiran ini, saya berusaha menjelaskan bahwa pada dasarnya nilai-nilai universal Islam yang diperjuangkan tokoh-tokoh di atas justru sejalan dengan nilai-nilai agama besar lainnya. Gerakan ''Liberation Theology'' Kristen, misalnya, banyak persamaannya dengan gerakan reformasi Indonesia. Untuk itu, merupakan suatu kekeliruan nyata, bila menunjuk nama-nama di atas sebagai ''Muslim Fundamentalis'' dalam pengertian bahasa jurnalistik Barat.
Apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh reformasi dengan memberdayakan hak tiap individu untuk bersuara, melakukan kritik sosial, adalah ciri utama seorang mukmin. Alquran menempatkan pada peringkat pertama atribut seorang mukmin pada sikapnya dalam menyuarakan serta mengajak kepada yang benar dan menghindarkan yang batil, pada peringkat berikutnya baru diberikan pada mereka yang menjalankan ritual agama (Q:9-71).
Islam yang juga dikenal sebagai agama keadilan dan agama moderat sama sekali tidak mentolerir sikap intoleransi apalagi penganiayaan terhadap hak pihak lain. ''Jangan karena kebencianmu terhadap kelompok lain atau kebencian kelompok lain padamu mengantarmu untuk berlaku tidak adil pada mereka, berlaku adillah karena hal tersebut, adalah jalan terdekat kepada ketaqwaan'' demikian Alquran (5:8).
Olehnya, untuk menunjukkan nilai-nilai Islam ini hendaknya kita harus dapat menahan diri, jangan sampai berlaku tidak adil terhadap siapa pun -- terlepas dari latar belakang suku, ras, atau agama -- atas nama reformasi. Hendaknya kita mawas diri bahwa tindakan balas dendam dengan dalih reformasi jauh dari anjuran agama. Demikian pula penggunaan kata-kata yang buruk terhadap yang bersalah sekalipun, harus kita hindari.
Kita harus belajar dari sejarah Nabi Muhammad SAW saat meraih kemenangan di Mekkah. Beliau mengampuni yang mengakui kesalahannya, sambil mengembalikan hak mereka yang telah dirampas. Namun agar tidak terulang sejarah pahit umat Islam pasca generasi formatif Islam, mereka yang dimaafkan ini harus tetap diwaspadai agar tidak diberi kesempatan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai non-Islam yang masih tertanam dalam jiwanya. Dalam konteks Indonesia, kita pun harus mewaspadai mereka yang meneriakkan reformasi -- yang justru tadinya ikut mengukuhkan status quo. Apa yang kita lakukan atas nama reformasi sekarang ini diteropong oleh bangsa lain. Jangan sampai keindahan dan keluhuran nilai budaya bangsa kita tercemar karena emosi yang meluap dari sekelompok bangsa kita dalam memperjuangkan reformasi. Bersikap tegas terhadap kebatilan tidak harus dibarengi dengan makian.
Untuk itu salah satu tugas tokoh-tokoh reformasi dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat adalah meluruskan yang keliru, menanamkan kembali nilai-nilai moral agama, dalam kehidupan sosial, ekonomi politik, serta hendaknya mereka bersama-sama berupaya memelihara wajah baik bangsa kita yang selama ini dikenal sebagai bangsa toleran dan santun. Apabila mereka berhasil, paling tidak, persepsi keliru mahasiswa Amerika terhadap Islam serta kekhawatiran tumbuhnya ''Fundamentalisme Islam'' di Indonesia dapat diluruskan. Karena betapun kita berdalih, bangsa lain akan tetap mengaitkan nilai Islam dengan perilaku bangsa kita yang secara mayoritas memeluk Islam.
Republika Jumat, 12 Juni 1998 Reformasi Indonesia di Mata Mahasiswa Amerika
Memang demikian halnya apabila wapres menggantikan presiden. Ia selalu dibayangi oleh kharisma bekas presiden, kata seorang mahasiswa. Contohnya, wapres Anwar Sadat ketika menggantikan Gamal Abdul Naser, bangsa Mesir dan dunia luar meragukan kemampuannya. Namun ia ternyata berprestasi lebih gemilang daripada Naser dengan memenangkan perang 1973 melawan Israel. Untuk itu, lanjut mahasiswa tadi, BJ Habibie pun harus diberi waktu untuk menunjukkan prestasinya. Bahkan Tuhan Yang Maha Kuasa sekalipun membutuhkan enam hari untuk menciptakan alam semesta ini, lanjutnya.
Segi negatif BJ Habibie menurut sementara mahasiswa, antara lain bahwa dalam menyusun kabinetnya ia masih menunjuk menteri-menteri yang berbau KKN, yang mengundang protes masyarakat. Bahkan seorang mahasiswa secara lantang bersuara: ''Bukankah BJ Habibie bersama beberapa menteri itu ikut bertanggung jawab atas kebijaksanaan Soeharto selama ini?'' Nada akomodatif dan moderat lalu menyambung bahwa pada masa Soeharto, mereka yang menentang kebijakannya pasti akan dicopot. Hanya yang mengiyakan saja yang akan langgeng pada posisinya. Contoh soal, Mar'ie dan Soedradjad Djiwandono.
Perlu digarisbawahi bahwa pada umumnya mahasiswa merasa khawatir akan masa depan Indonesia yang mereka anggap akan menampakkan corak ''Fundamentalisme Islam'', apabila pengaruh BJ Habibie dan tokoh-tokoh reformasi semacam Amien Rais dan Nurcholish Madjid melaju tanpa dibendung. Bukankah BJ Habibie pernah menjadi ketua Umum ICMI -- yang dikenal secara luas sebagai muslim yang menjalankan ritual agama secara konsisten? Atau Amien Rais adalah pencipta kader-kader muslim yang mendalami gerakan puritan Ichwanul Muslimin? Atau bukankah Nurcholish Madjid pendidik umat dengan pandangan-pandangan jernihnya? Tidakkah ketiga tokoh ini seirama untuk memperjuangkan agar Indonesia lebih bercorak Islam?
Kekhawatiran ini disebabkan karena mahasiswa Amerika masih sulit melepaskan diri dari persepsi keliru terhadap Islam -- yang selama ini terbentuk dalam benaknya. Islam diidentikkan dengan kekerasan dan intoleransi. Hal yang menambah kukuhnya persepsi keliru ini karena ia terkadang diperkuat oleh segelintir bangsa kita sendiri, baik muslim atau nonmuslim, yang kurang mendalami esensi Islam.
Menanggapi kekhawatiran ini, saya berusaha menjelaskan bahwa pada dasarnya nilai-nilai universal Islam yang diperjuangkan tokoh-tokoh di atas justru sejalan dengan nilai-nilai agama besar lainnya. Gerakan ''Liberation Theology'' Kristen, misalnya, banyak persamaannya dengan gerakan reformasi Indonesia. Untuk itu, merupakan suatu kekeliruan nyata, bila menunjuk nama-nama di atas sebagai ''Muslim Fundamentalis'' dalam pengertian bahasa jurnalistik Barat.
Apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh reformasi dengan memberdayakan hak tiap individu untuk bersuara, melakukan kritik sosial, adalah ciri utama seorang mukmin. Alquran menempatkan pada peringkat pertama atribut seorang mukmin pada sikapnya dalam menyuarakan serta mengajak kepada yang benar dan menghindarkan yang batil, pada peringkat berikutnya baru diberikan pada mereka yang menjalankan ritual agama (Q:9-71).
Islam yang juga dikenal sebagai agama keadilan dan agama moderat sama sekali tidak mentolerir sikap intoleransi apalagi penganiayaan terhadap hak pihak lain. ''Jangan karena kebencianmu terhadap kelompok lain atau kebencian kelompok lain padamu mengantarmu untuk berlaku tidak adil pada mereka, berlaku adillah karena hal tersebut, adalah jalan terdekat kepada ketaqwaan'' demikian Alquran (5:8).
Olehnya, untuk menunjukkan nilai-nilai Islam ini hendaknya kita harus dapat menahan diri, jangan sampai berlaku tidak adil terhadap siapa pun -- terlepas dari latar belakang suku, ras, atau agama -- atas nama reformasi. Hendaknya kita mawas diri bahwa tindakan balas dendam dengan dalih reformasi jauh dari anjuran agama. Demikian pula penggunaan kata-kata yang buruk terhadap yang bersalah sekalipun, harus kita hindari.
Kita harus belajar dari sejarah Nabi Muhammad SAW saat meraih kemenangan di Mekkah. Beliau mengampuni yang mengakui kesalahannya, sambil mengembalikan hak mereka yang telah dirampas. Namun agar tidak terulang sejarah pahit umat Islam pasca generasi formatif Islam, mereka yang dimaafkan ini harus tetap diwaspadai agar tidak diberi kesempatan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai non-Islam yang masih tertanam dalam jiwanya. Dalam konteks Indonesia, kita pun harus mewaspadai mereka yang meneriakkan reformasi -- yang justru tadinya ikut mengukuhkan status quo. Apa yang kita lakukan atas nama reformasi sekarang ini diteropong oleh bangsa lain. Jangan sampai keindahan dan keluhuran nilai budaya bangsa kita tercemar karena emosi yang meluap dari sekelompok bangsa kita dalam memperjuangkan reformasi. Bersikap tegas terhadap kebatilan tidak harus dibarengi dengan makian.
Untuk itu salah satu tugas tokoh-tokoh reformasi dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat adalah meluruskan yang keliru, menanamkan kembali nilai-nilai moral agama, dalam kehidupan sosial, ekonomi politik, serta hendaknya mereka bersama-sama berupaya memelihara wajah baik bangsa kita yang selama ini dikenal sebagai bangsa toleran dan santun. Apabila mereka berhasil, paling tidak, persepsi keliru mahasiswa Amerika terhadap Islam serta kekhawatiran tumbuhnya ''Fundamentalisme Islam'' di Indonesia dapat diluruskan. Karena betapun kita berdalih, bangsa lain akan tetap mengaitkan nilai Islam dengan perilaku bangsa kita yang secara mayoritas memeluk Islam.
Republika Jumat, 12 Juni 1998 Reformasi Indonesia di Mata Mahasiswa Amerika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar